Tuesday, August 16, 2011

G Sidharta Soegijo

Yogyakarta, 1932

G. Sidharta Soegijo, Maestro Patung

G. Sidharta Soegijo, Maestro Patung

“Saya ingin mengaitkan diri kembali dengan jalur kehidupan tradisi, di samping sekaligus tetap berdiri di alam kehidupan masa kini, yang berarti satu keinginan untuk menghilangkan jarak antara kehidupan tradisional dan masa kini” (G. Sidharta Soegijo)

Gregorius Sidharta Soegijo akrab dipanggil Dharta. Ia merupakan tokoh penting di dunia seni patung. Meski dikenal sebagai pematung, lelaki kelahiran 30 November 1932 ini juga menekuni bidang seni rupa lain seperti seni lukis, cetak saring, keramik, dan kerajinan tangan.

Sebelum mendalami seni patung di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta, Sidharta sempat mempelajari dasar-dasar melukis dari Hendra Gunawan dan Trubus di Sanggar Pelukis Rakyat pada 1950-an. Pernah dikirim gereja Katolik pada 1953 untuk belajar di Jan van Eyck Academie, Maastricht, Belanda. Masa tiga tahun di negeri kincir angin itu mempengaruhi gayanya dalam mencipta karya. Dharta seolah hanya mementingkan bentuk, semakin kuat. Saat kembali ke Jogja, ia pun dianggap kebarat-baratan.

Pada 1965, ia mendapat tawaran dari But Muchtar untuk mengajar Jurusan Seni Rupa Institu Teknologi Bandung (ITB). Dharta pun pindah. Keberadaannya di Bandung semakin memperjelas perbedaan Yogyakarta dan Bandung dalam hal seni rupa.

Dharta kembali lagi ke Jogjakarta setelah pensiun dari ITB. Di kota gudeg ini, ia mendirikan Asosiasi Pematung Indonesia (API). Dalam berkegiatan, API tak ragu menyandingkan karya-karya perupa senior dengan karya perupa muda. Akibatnya event gelarannya sering mendapat kritik.

Nama Sidharta mulai menanjak tatkala ia memamerkan Tangisan Dewi Betari, karya kontroversial karena melawan konvensi seni patung gaya Barat juga lokal. Karena bentuknya pipih, karya itu sering dianggap bukan patung. Kini patung tersebut menjadi koleksi museum di Jepang. Karya lain turut mendongkrak nama Sidharta dalam dunia patung, antara lain Onggak Samudra, monumen Pelabuhan Peti Kemas di Tanjung Priok, patung Garuda Pancasila di atas podium Gedung MPR/DPR, patung di makam Bung Karno Blitar, tata ruang Monumen Proklamasi, Piala Citra, dan patung Mekatronik.

Sejak 1957 Sidharta banyak melakukan pameran tunggal maupun bersama, di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Jepang, Singapura, India, Polandia, Norwegia, Thailand, Filipina, dan New York. Pelbagai penghargaan juga pernah didapatnya, antara lain: Anugerah Seni dari Badan Musjawarah Kebudayaan Nasional (1952), Anugerah Seni DKI Jakarta (1982), Penghargaan Patung Terbaik dari Dewan Kesenian Jakarta (1986), Penghargaan ASEAN ke-2 untuk Kebudayaan, Komunikasi dan Karya Sastra (1990), dan Penghargaan Rencana Monumen Proklamator di Jakarta. Tak hanya itu, jasanya diakui banyak orang akibat peran serta dalam pendirian Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Studio Seni Patung ITB.

Sidharta meninggal dunia karena kanker paru-paru di Rumah Sakit Dr. Oen Surakarta pada 4 Oktober 2006. Jenazahnya dikubur di Pemakaman Keluarga Besar Moerdani di Astana Bonoloyo, Kadipiro, Solo. Di usia 74 tahun, Sidharta meninggalkan seorang istri Maria Sri Noerna Moerdani , empat anak, Maria Antoinette Marisa Sandra, Brigitta Rina Aninda, Ionna Mirah Trisani, Gregorius Bima Bathara, serta delapan cucu. Dari keempat anaknya, hanya anak bungsunya yang mengikuti jejaknya dalam kesenian.

Menjelang akhir hayatnya, Dharta masih aktif berkarya. Patung terakhirnya, sebuah salib bertajuk Crucifix 2006 dan patung wanita duduk yang belum sempat ia beri judul. (Yunisa Priyono)

No comments:

Post a Comment