Tuesday, August 16, 2011

“Good Morning, Mr. Orwell” dan Perlawanan Nam June Paik Terhadap Televisi PDF Cetak E-mail
Ditulis oleh Aditya Adinegoro
Sabtu, 06 Maret 2010 15:04

“Television has been attacking us all our lives, now we can attack it back”.

- Nam June Paik (1932-2006)

Pada tahun 1948 penulis Inggris George Orwell menulis “1984”, sebuah novel dystopian tentang kondisi sebuah negara totalitarian yang diatur oleh seorang penguasa tunggal yang disebut dengan “Big Brother”. Dalam novel tersebut, Orwell menulis dan “meramalkan” tentang sebuah teknologi yang digunakan oleh Big Brother sebagai alat untuk pengawasan serta pengontrol pikiran secara massal. Alat itu bernama “Telescreen” yang hadir di setiap rumah-rumah penduduk, dan memutarkan program propaganda setiap harinya selama 24 jam., dan sayangnya ketika Telescreen dinyalakan ia tidak dapat dimatikan sama sekali…

nam_june_paiknam-june-paiknam_june_paik1

Mengenang Nam June Paik

Televisi telah menjadi perhatian dan fokus utama dalam karya-karya Nam June Paik. Ia adalah seniman pertama yang menjadikan video dan televisi sebagai medium dalam berkarya. Melalui proyek televisi, instalasi, performance, kolaborasi, pengembangan peralatan baru bagi seniman, menulis serta mengajar, ia telah melakukan kontribusi kepada penciptaan sebuah budaya media yang akhirnya meluaskan bahasa dan definisi dari pembuatan karya seni.

Lahir di Seoul-Korea Selatan pada 1932, Paik merupakan anak kelima dan ayahnya seorang pengusaha tekstil. Sejak kecil ia telah dilatih untuk menjadi pianis musik klasik. Pada 1950, ia bersama keluarganya meninggalkan tanah kelahirannya akibat perang Korea. Pertama-tama mereka mendarat ke Hong Kong, lalu kemudian menetap di Jepang. Di Jepang, Paik belajar tentang Sejarah Seni dan Sejarah Musik di Universitas Tokyo lalu lulus 6 tahun kemudian dengan mengambil tesis tentang komposer Arnold Schönberg. Ia kemudian pindah ke Jerman pada 1956 untuk melanjutkan studinya tentang Sejarah Musik di Universitas Munich dan bertemu dengan komposer avant-garde Jerman, Karlheinz Stockhausen lalu belajar tentang Komposisi di Freiburg Conservatory. Dua tahun kemudian ia bertemu dengan komposer avant-garde lainnya asal Amerika, John Cage dan bekerja di Studio für Elektronische Musik di WDR, Cologne hingga 1963. Paik juga bertemu dengan seniman konseptual Joseph Beuys, dan Wolf Vostell yang menginspirasinya untuk berkarya dalam ranah seni elektronik.

Good Morning, Mr. Orwell (1984} di UBU

Rentang 1959-1962, Paik menampilkan bagian dari action music-nya; Stockhausen's "Originale" di Cologne. Terinspirasi oleh John Cage, Paik kemudian bergabung dengan gerakan seni Neo-Dada yang dikenal dengan nama Fluxus. Pada 1963 ia ikut berpartisipasi dalam "Fluxus. Internationale Festspiele neuester Musik" di Wiesbaden dan melakukan pamerannya yang pertama "Exposition of Musik/Electronic Television" di Galerie Parnass-Wuppertal, dan dalam pameran tersebut ia menyebarkan televisi di mana-mana dan menggunakan magnet untuk mendistorsi gambar-gambarnya. Kemudian Paik kembali ke Jepang dan bertemu dengan Shuya Abe, kemudian mereka melakukan eksperimen dengan elektromagnet dan televisi berwarna.

Kemudian pada 1964, Paik pindah ke New York dan memulai berkarya bersama pemain cello klasik Charlotte Moorman untuk mengkombinasikan video, musik dan performance-nya. Dari kolaborasi tersebut terciptalah karya TV Cello, di mana dalam pengerjaannya dua pasang televisi disusun pada bagian atas dan di bagian bawah kemudian dibentuk menyerupai sebuah cello asli. Ketika Moorman menggesek alat geseknya di atas “cello”, gambar dari permainannya dan gambar dari pemain cello lainnya akan muncul pada layar. Pada 1965, Sony meluncurkan Portapak sebuah kamera video portable pertama dan Paik merupakan seniman yang menggunakannya untuk pertama kali. Dan hari ketika ia mendapatkan kameranya, Paus dari Vatikan tengah berkunjung ke New York, segera Paik merekam prosesi Sang Paus yang turun ke jalanan kota dan memutar footage tersebut pada malam harinya di Café a Go-Go. Dari sana, Paik kemudian menjadi selebriti internasional yang dikenal karena kreativitas dan karya-nya yang menghibur. Di tahun ini juga Paik melakukan pameran tunggal pertamanya, 'Electronic Art' in the USA di Galeria Bonino, NewYork.

good-morning-mr-orwell-calvacade-of-intellectualsgood-morning-mr-orwell-john-cage

John Cage

good-morning-mr-orwell-laurie-anderson

Laurie Anderson

good-morning-mr-orwell-merce-cunningham

Merce Cunningham

good-morning-mr-orwell-moorman-and-tv-cello

Charlotte Moorman

good-morning-mr-orwell-the-host

Nam June Paik kemudian mengerjakan instalasi multi-monitor pertama kalinya, Electronic Opera No.1 pada 1966-1969 dengan menggunakan rekaman TV yang terdistorsi secara magnetik. Kemudian ditampilkan pada program siaran langsung The Medium is the Medium di GBH-TV, Boston. Pada 1967, Charlotte Moorman ditahan oleh polisi akibat tampil topless ketika memainkan karya Paik, Opera Sextronique. Dua tahun kemudian, mereka menampilkan TV Bra for Living Sculpture, dimana Charlotte menggunakan bra dengan layar TV kecil pada bagian depannya. Kemudian pada 1969-1970, Paik bersama Shuya Abe mengkonstruksi video synthesizer.

Pada 1971, Paik bekerja di WNET's TV Lab, New York. Empat tahun kemudian ia membuat Video Fish, sebuah seri dari akuarium horizontal berisi ikan hidup yang berenang di depan beberapa monitor dan menampilkan gambar video yang sama dari ikan lain. Paik kemudian melakukan pameran retrospektif pertamanya di Kölnischer Kunstverein-Cologne pada 1976, kemudian ia ditunjuk sebagai profesor pada Staatliche Kunstakademie-Dusseldorf dari 1979 sampai 1996. Ia kembali menggelar pameran retrospektif-nya di Whitney Museum of American Art, New York pada 1982 dan meluncurkan karya satelit “instalasi” pertamanya, Good Morning Mr. Orwel" dari Centre Pompidou-Paris, dan di WNET-TV Studio-New York pada pagi di hari pertama tahun 1984. Dalam karyanya yang lain Something Pacific (1986), Paik menampilkan sebuah patung Budha yang sedang duduk menghadap ke sebuah CCTV (karya ini merupakan bagian dari Stuart Collection of Public Art di University of California, San Diego).

Paik juga dikenal karena membuat robot dari beberapa set televisi. Karya-karya ini sebelumnya dikonstruksi menggunakan kabel dan besi, namun untuk selanjutnya Paik juga menggunakan bagian-bagian dari radio dan televisi. Kemudian di tahun 1986, ia membuat Bye Bye Kipling sebuah kombinasi rekaman dari live event di Seoul, Tokyo dan New York. Dua tahun kemudian, ia menunjukan cinta kepada tanah kelahirannya dengan membuat karya The More The Better, sebuah menara raksasa yang dibuat dari 1.003 monitor untuk pertandingan di Olimpiade Seoul 1988. Karyanya, Video Arbor diletakan sebagai patung publik di Philadelphia pada tahun 1990. Paik melakukan pameran gandanya Video Time-Video Space pada tahun 1991-1992 di Kunsthalle Basel dan Kunsthalle Zürich.

Sebuah pameran retrospektif akhir dari keseluruhan karyanya, The Worlds of Nam June Paik digelar pada tahun 2000 di Guggenheim Museum-New York. Sebuah bentuk apresiasi atas refleksi dari kehidupan dan kegiatan berkesenian Nam June Paik. 29 Januari 2006, seniman Korea-Amerika ini meninggal di Miami-Florida.

more-the-betternamjunepaik

Kehidupan seni Paik tumbuh dalam politik dan gerakan anti-art dari tahun 1950–1970an. Pada masa pertukaran budaya dan sosial ini, ia berusaha untuk mengejar sebuah tugas untuk menggabungkan kapasitas ekspresif dan kekuatan konseptual dari performance, dengan kemungkinan teknologi baru yang berasosiasi dengan gambar bergerak (moving images). Ini mungkin merupakan bentuk kekuatan dari gagasannya tentang seni berbasis media, pada masa di mana sekarang gambar bergerak elektronik dan teknologi media semakin meningkat dalam perkembangannya. Paik bersama-sama dengan seniman avant-garde yang lain terlibat dalam Fluxus. Fluxus sendiri memiliki kesamaan semangat dengan gerakan seni awal Dada, yaitu mengembangkan konsep dari anti-seni dan mengambil alih keseriusan dalam seni modern. Dalam proses artistiknya, Fluxus merupakan seni antarmedia. Seniman Fluxus lebih suka melihat apa yang terjadi ketika media yang berbeda berkolaborasi, mereka menggunakan obyek, suara, gambar dan teks yang dapat ditemukan setiap harinya untuk membuat kombinasi yang baru dari medium tersebut.

Nam June Paik mentransformasikan hal yang paling instrumental dari medium video, melalui sebuah proses di mana ia mengekspresikan wawasannya yang mendalam tentang teknologi elektronik dan pemahamannya tentang bagaimana mengkonstruksi televisi agar “merubahnya keluar” dan menjadikannya sesuatu yang baru. Citra Paik tidak ditentukan dan terbatasi oleh teknologi video atau pada sistem televisi. Sebaliknya, ia menyusun materialitas dan komposisi dari gambar elektronik yang kemudian diletakan pada “ruang” di antara televisi. Dan dalam proses akhirnya, terdefinisikan sebuah bentuk baru dari ekspresi kreatif. Paik memahami bagaimana kekuatan dari gambar bergerak telah menjadi sebuah persepsi intuitif, dari sebuah perkembangan teknologi yang telah ia kembangkan dan ia transformasikan sebelumnya.

videofish1

Excellent Birds

Act III

Oingo Bongo

Allen Ginsberg

Thompson Twins


“Good Morning, Mr. Orwell” dan Perlawanan Paik Terhadap Dominasi Televisi

Pada tahun 1984 tepat di pagi hari pertama tahun itu, Nam June Paik meluncurkan karya “instalasi” satelit internasional pertama-nya Good Morning, Mr. Orwell. Karya video ini merupakan sebuah program televisi berdurasi 57 menit yang terselenggara atas kerjasama dengan WNET TV di New York dan Centre Pompidou di Paris, disiarkan langsung via satelit dengan Paik sebagai konseptor dan koordinator-nya. Good Morning Mr. Orwell disiarkan ke berbagai negara di dunia secara simultan, antara lain Amerika Serikat, Perancis, Jerman Barat serta Korea Selatan dan diklaim ditonton oleh kurang lebih 25 Juta orang. Menggabungkan antara material siaran langsung serta material pra-rekam, program ini menampilkan tarian, komedi, performance art dan musik avant-garde. Dalam pembukaannya, George Plimpton sang pembawa acara menjelaskan; “…George Orwell tentu saja membuat 1984 yaitu hari ini, ketika ia menulis di tahun 1948. Ini adalah sebuah peringatan mengenai perlawanan terhadap totalitarianisme dan bahaya akan teknologi elektronik, seperti dalam kalimatnya yang terkenal: 'Big Brother is watching you'. Apa yang akan anda lihat nantinya merupakan sebuah penggabungan interaktif dan postitif dari media eletronik, yang mungkin tidak akan pernah diprediksi oleh Orwell. Ini adalah sebuah perayaan tahun baru yang hanya dapat terjadi pada televisi…”

Beberapa seniman dan musisi terlibat dalam rangkaian program ini antara lain; komposer John Cage yang tampil membawakan komposisinya dengan alat dari duri kaktus yang telah kering dan sehelai bulu. Diselingi performance art dari seniman asal Jerman, Joseph Beuys yang melakukan performance art menggunakan Grand Piano. Laurie Anderson tampil dengan menggunakan efek vocoder untuk merubah suaranya menjadi suara seorang pria dan menceritakan “kisah-nya” mengenai kecelakaan pesawat yang dialaminya dan juga kengerian tentang alat-alat digital. Sapho, penyanyi dari Prancis menyanyikan tentang “percakapannya” dengan George Orwell dalam TV is Eating Up Your Brain, di mana muncul penggalan liriknya: “Big Brother tidak mengawasimu. Tetapi TV sedang memakan otak kita. Katakan padaku, apa yang aku lakukan sekarang? Aku sedang memakan otak anda sekalian, saudara-saudara. / Tapi George, bukankah kau sudah melakukannya. / Sesuatu masih berlangsung. Lihat, kau masih salah: Hasrat masih belum mati. Hasrat tidak pernah mati. Ia tidak pernah menjadi milik partai manapun, dan tidak pernah pergi ke partai manapun.”

Adapula komedi dari Calvacade of Intellectuals yang dibawakan oleh panelis Mitchell Kriegman dari New York dan Leslie Fuller dari Paris, di mana dalam program acara tersebut mereka seharusnya berdiskusi tentang “Kehancuran alam bawah sadar manusia yang diakibatkan oleh teknologi televisi”, namun yang terjadi justru perdebatan antar kisah cinta mereka ketika siaran satelit-nya mengalami gangguan teknis. Grup musik Oingo Boingo menyanyikan seruan untuk bangkit melawan "Big Brother" melalui lagu mereka Wake Up (It’s 1984). The Thompson Twins tampil live dari San Francisco dengan membawakan lagu mereka Can’t Hold Me Now. Kemudian ada premiere dari video Act III di mana musiknya dikerjakan oleh musisi Philip Glass dan videonya dikerjakan oleh Dean Winkler dan John Sanborn. Urban Sax, grup orkestra saksofon tampil live dari Paris dengan menggunakan kostum khas mereka. Koreografer Merce Cunningham melakuan performance dengan menari bersama visual dirinya yang tertunda beberapa detik sehingga menimbulkan ilusi optis bagi penonton. Charlotte Moorman tampil dengan TV Cello. Begitu pula penyair Allen Ginsberg dan Peter Orlovsky juga turut hadir dalam program ini.

TV_Cellovideofish2

Masalah teknis kerap terjadi dari awal pertunjukkan ini. Beberapa versi yang berbeda dari acara terlihat di Amerika Serikat dan Prancis karena koneksi satelit di antara kedua negara tersebut sering kali terputus. Misalnya ketika Mitchell Kriegman mendemonstrasikan space yodel, George Plimpton sang pembawa acara menjelaskan bahwa suara yodel akan memantul dan melintasi jaringan satelit unutuk menciptakan sebuah gema, namun sebenarnya tidak ada gema yang terdengar pada saat itu. Paik mengatakan bahwa masalah teknis yang terjadi mungkin dapat meningkatkan mood “siaran langsung”. Lepas dari itu semua, Paik telah berusaha mendemonstrasikan dengan baik kemampuan satelit TV untuk menyajikan akhir yang positif, yaitu pertukaran budaya antar benua dengan menggabungkan highbrow art dan elemen hiburan. Good Morning Mr. Orwell merupakan usaha perlawanan Paik terhadap dominasi TV, karya ini mampu menjangkau publik yang lebih luas karena tidak mengusung konsep sebagai karya yang dipamerkan, namun ditransmisikan dan disebarkan secara massal. Oleh sebab itu, dengan menggunakan “konsep” TV itu sendiri, Paik mencoba melawan televisi melalui televisi. Secara tidak langsung melalui karya ini, Paik mencoba untuk membuktikan bahwa “Big Brother” tidak hadir di tahun 1984, seperti dalam ramalan Orwell.

Paik memberikan wacana yang berbeda tentang televisi, sebuah “alur global” dari ekspresi sang seniman yang dilihat sebagai bagian dari “akses informasi elektronik super” yang terbuka dan bebas bagi semua orang. Bentuk ganda dari video yang dikembangkan oleh Paik tersebut bisa di interpretasikan sebagai sebuah ekspresi dari sebuah medium yang terbuka untuk tumbuh dan berkembang melalui imajinasi dan partisipasi dari komunitas maupun individu-individu dari seluruh dunia. Paik bersama dengan banyak seniman lainnya, bekerja secara individual maupun kolektif di tahun 1960an dan 1970an untuk menciptakan televisi sebagai ruang alternatif, melawan gagasan tentang televisi sebagai sebuah medium yang mendominasi secara eksklusif yang dikontrol oleh sebuah monopoli perusahaan televisi. “Televisi telah menyerang kita, kini saatnya kita menyerangnya kembali”, ujar Nam June Paik.

FBS Unimed Fokus Berkarya Budaya Lokal Sumut

FBS Unimed Fokus Berkarya Budaya Lokal Sumut

45 Mahasiswa Unimed Adu Foto - Tribun Medan

45 Mahasiswa Unimed Adu Foto - Tribun Medan
Mahasiswa FBS Unimed Difokuskan Ciptakan Karya Lokal PDF Print E-mail
Articles | Medan
Written by Syafri Harahap on Friday, 17 June 2011 04:27
MEDAN (Waspada): Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Medan (Unimed) konsern untuk menghasilkan karya dengan konsep delapan etnis budaya yang ada di Sumut. Untuk itu, maka seluruh karya dosen maupun mahasiswa harus memfokuskan kepada budaya lokal.


Hal itu diungkapkan Pembantu Dekan I FBS Unimed Dr. Isda Pramuniati, di selasela pameran bersama fotografi, desain grafis dan ilustrasi serta seminar di Gallery Seni Rupa Unimed, Selasa (14/6). Acara tersebut turut dihadiri Seniman Muscogee (keturunan Indian Amerika) yaitu Bobby C Martin yang pernah menjabat sebagai Associated Profesor bidang Visual Art di John Brown University in Siloam Springs, Arkansas.


Isda menyebutkan, FBS Unimed saat ini tengah mengubah kurikulum untuk lebih cenderung dalam analisis budaya produk dari Sumut.


Koordinator pameran bersama yang juga dosen pembimbing dan dosen fotografi FBS Unimed Drs. Fuad Erdansyah, MSn menyebutkan, pameran yang digelar mulai tanggal 1417 Juni 2011 ini menampilkan karya anak mahasiswa FBS semester delapan juga semester enam. Karya yang ditampilkan, sebanyak 30 jenis karya seni grafis, 60 karya illustrasi dan 90 karya fotografi.


Fuad menyebutkan, pemeran ini sebenarnya merupakan ajang bagi mahasiswa semester delapan untuk mencapai tingkat sarjana. Namun, secara tidak langsung, pameran itu juga sebagai ajang untuk evaluasi dan kompetisi bagi sesama mahasiswa. “Pameran ini sebenarnya di luar kurikulum dan ini inisiatif dari kita sebab pameran ini juga penting bagi mahasiswa untuk dokumentasi mereka meraih portofolio nantinya,” terang Fuad sembari menyebutkan kegiatan pameran bersama itu diikuti sebanyak 115 orang mahasiswa FBS Unimed.


Ketua Jurusan Seni Rupa FBS Unimed, Drs. Zulkifli, MSn menyebutkan, pameran merupakan keharusan bagi seorang perupa, seniman atau calon perupa seperti mahasiswa sebab, dengan pameranlah mereka dapat mempublikasikan karyanya pada masyarakat pecinta seni agar bisa diapresiasikan dan dikritik. (m41)



G Sidharta Soegijo

Yogyakarta, 1932

G. Sidharta Soegijo, Maestro Patung

G. Sidharta Soegijo, Maestro Patung

“Saya ingin mengaitkan diri kembali dengan jalur kehidupan tradisi, di samping sekaligus tetap berdiri di alam kehidupan masa kini, yang berarti satu keinginan untuk menghilangkan jarak antara kehidupan tradisional dan masa kini” (G. Sidharta Soegijo)

Gregorius Sidharta Soegijo akrab dipanggil Dharta. Ia merupakan tokoh penting di dunia seni patung. Meski dikenal sebagai pematung, lelaki kelahiran 30 November 1932 ini juga menekuni bidang seni rupa lain seperti seni lukis, cetak saring, keramik, dan kerajinan tangan.

Sebelum mendalami seni patung di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta, Sidharta sempat mempelajari dasar-dasar melukis dari Hendra Gunawan dan Trubus di Sanggar Pelukis Rakyat pada 1950-an. Pernah dikirim gereja Katolik pada 1953 untuk belajar di Jan van Eyck Academie, Maastricht, Belanda. Masa tiga tahun di negeri kincir angin itu mempengaruhi gayanya dalam mencipta karya. Dharta seolah hanya mementingkan bentuk, semakin kuat. Saat kembali ke Jogja, ia pun dianggap kebarat-baratan.

Pada 1965, ia mendapat tawaran dari But Muchtar untuk mengajar Jurusan Seni Rupa Institu Teknologi Bandung (ITB). Dharta pun pindah. Keberadaannya di Bandung semakin memperjelas perbedaan Yogyakarta dan Bandung dalam hal seni rupa.

Dharta kembali lagi ke Jogjakarta setelah pensiun dari ITB. Di kota gudeg ini, ia mendirikan Asosiasi Pematung Indonesia (API). Dalam berkegiatan, API tak ragu menyandingkan karya-karya perupa senior dengan karya perupa muda. Akibatnya event gelarannya sering mendapat kritik.

Nama Sidharta mulai menanjak tatkala ia memamerkan Tangisan Dewi Betari, karya kontroversial karena melawan konvensi seni patung gaya Barat juga lokal. Karena bentuknya pipih, karya itu sering dianggap bukan patung. Kini patung tersebut menjadi koleksi museum di Jepang. Karya lain turut mendongkrak nama Sidharta dalam dunia patung, antara lain Onggak Samudra, monumen Pelabuhan Peti Kemas di Tanjung Priok, patung Garuda Pancasila di atas podium Gedung MPR/DPR, patung di makam Bung Karno Blitar, tata ruang Monumen Proklamasi, Piala Citra, dan patung Mekatronik.

Sejak 1957 Sidharta banyak melakukan pameran tunggal maupun bersama, di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Jepang, Singapura, India, Polandia, Norwegia, Thailand, Filipina, dan New York. Pelbagai penghargaan juga pernah didapatnya, antara lain: Anugerah Seni dari Badan Musjawarah Kebudayaan Nasional (1952), Anugerah Seni DKI Jakarta (1982), Penghargaan Patung Terbaik dari Dewan Kesenian Jakarta (1986), Penghargaan ASEAN ke-2 untuk Kebudayaan, Komunikasi dan Karya Sastra (1990), dan Penghargaan Rencana Monumen Proklamator di Jakarta. Tak hanya itu, jasanya diakui banyak orang akibat peran serta dalam pendirian Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Studio Seni Patung ITB.

Sidharta meninggal dunia karena kanker paru-paru di Rumah Sakit Dr. Oen Surakarta pada 4 Oktober 2006. Jenazahnya dikubur di Pemakaman Keluarga Besar Moerdani di Astana Bonoloyo, Kadipiro, Solo. Di usia 74 tahun, Sidharta meninggalkan seorang istri Maria Sri Noerna Moerdani , empat anak, Maria Antoinette Marisa Sandra, Brigitta Rina Aninda, Ionna Mirah Trisani, Gregorius Bima Bathara, serta delapan cucu. Dari keempat anaknya, hanya anak bungsunya yang mengikuti jejaknya dalam kesenian.

Menjelang akhir hayatnya, Dharta masih aktif berkarya. Patung terakhirnya, sebuah salib bertajuk Crucifix 2006 dan patung wanita duduk yang belum sempat ia beri judul. (Yunisa Priyono)